INFO CIKARANG – Meskipun sebagian wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau, hujan justru masih kerap turun di malam hari. Fenomena ini menuai banyak perhatian warganet di platform media sosial seperti X (Twitter), terutama karena kondisi ini terjadi di saat cuaca siang terasa sangat panas.
Menurut penjelasan dari BMKG, kondisi ini merupakan karakteristik masa pancaroba atau peralihan musim dari hujan menuju kemarau. Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, mengungkapkan bahwa suhu siang hari yang menyengat diikuti hujan sore hingga malam hari disebabkan oleh ketidakstabilan atmosfer.
Dalam periode transisi ini, awan konvektif seperti cumulonimbus (Cb) cenderung terbentuk akibat pemanasan permukaan yang intens pada pagi dan siang hari. Awan-awan ini menjadi pemicu cuaca ekstrem seperti hujan deras, kilat atau petir, angin kencang, hingga hujan es.
Perkembangan Musim Kemarau 2025
Beberapa daerah seperti pesisir utara Jawa bagian barat, sebagian Bali, NTB, dan NTT sudah mulai mengalami musim kemarau sejak April 2025. Sementara itu, daerah lain seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagian Kalimantan Selatan, serta selatan Papua mulai mengalami kemarau sejak Mei.
Wilayah Jabodetabek memiliki jadwal awal musim kemarau yang bervariasi. Di Jakarta Utara, Bekasi, dan Tangerang, kemarau diperkirakan mulai akhir April. Sedangkan Jakarta Selatan, Depok, dan sebagian Bogor baru akan memasuki kemarau antara akhir Mei hingga pertengahan Juni 2025.
BMKG: Potensi Cuaca Ekstrem Masih Tinggi
Sub Koordinator Humas BMKG, Dwi Rini Endra Sari, menjelaskan bahwa Jabodetabek saat ini masih berada dalam masa pancaroba, yang ditandai dengan cuaca panas pada pagi-siang dan hujan intens di sore-malam hari.
Dalam sepekan ke depan, cuaca ekstrem masih berpotensi terjadi, termasuk angin kencang hingga puting beliung. Karakteristik hujan pada masa ini cenderung tidak merata, tetapi bisa sangat lebat dan disertai petir.
Ancaman Iklim dan Krisis Air Bersih
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, memperingatkan bahwa tren pemanasan global semakin mengkhawatirkan. Data 2024 mencatat suhu rata-rata nasional sebesar 27,52°C, dengan kenaikan anomali +0,81°C dibanding periode normal. Ini menjadi alarm serius terhadap perubahan iklim yang berdampak pada bencana seperti banjir dan kekeringan.
Dwikorita menyoroti bahwa Indonesia menghadapi tantangan ketimpangan distribusi air: berlimpah saat hujan, tetapi sangat minim saat musim kemarau. Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya restorasi sungai dan teknologi pemanenan air hujan sebagai solusi jangka panjang menghadapi krisis air.
“Jika tidak ditangani serius, masyarakat terutama di wilayah rawan kekeringan akan semakin sulit mendapatkan akses air bersih,” ujarnya.
BMKG mengimbau masyarakat agar tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem, terutama di masa transisi ini. Adaptasi terhadap perubahan iklim harus dilakukan secara serius melalui kolaborasi berbagai pihak: pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Manajemen air yang berkelanjutan dan berbasis data menjadi kunci untuk mengurangi risiko jangka panjang.*